Mengorek Asal-usul Bahasa Indonesia

Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan tanggal bersejarah bagi bahasa Indonesia yang saat itu diresmikan menjadi bahasa negara dan menjadi bahasa persatuan dari sekian ratus bahasa daerah. Namun seperti apakah yang dinamakan bahasa Indonesia itu? Orang mengenalnya sebagai bahasa Melayu yang dimodifikasi, lalu dicampur dengan bahasa-bahasa serapan dari berbagai daerah dan dari bahasa asing, kemudian dibakukan.

Dari manakah asal-usul bahasa Melayu itu? Apakah bahasa itu hanya dituturkan oleh etnis Melayu sejak berabad-abad lalu? Padahal etnis Melayu sendiri hanya sebagian kecil saja dari ratusan etnis di nusantara?

Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengatakan, bahasa Melayu dan ratusan bahasa daerah lainnya di nusantara sebenarnya berakar dari bahasa Austronesia yang mulai muncul sekitar 6.000-10.000 tahun lalu.

Penyebaran penutur bahasa Austronesia, ujar Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) itu, merupakan fenomena besar dalam sejarah umat manusia karena sebagai suatu rumpun bahasa, Austronesia merupakan yang terbesar di dunia, meliputi 1.200 bahasa dan dituturkan oleh hampir 300 juta populasi.

Masyarakat penuturnya tersebar luas di wilayah sepanjang 15 ribu km meliputi lebih dari separuh bola bumi, yaitu dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di ujung timur, dari Taiwan-Mikronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan.

“Out of Taiwan”

Mengenai asal-usul penutur Austronesia, Harry mengatakan, ada beberapa hipotesa. Yang paling umum adalah hipotesa bahwa asal leluhur penutur Austronesia adalah Formosa (Taiwan) atau model “Out of Taiwan”.

Arkeolog lainnya Daud A Tanudirjo menyebutkan, Robert Blust adalah pakar linguistik yang paling lantang menyuarakan pendapat bahwa asal-ususl penutur Austronesia adalah Taiwan.
Sejak 1970-an Blust telah mencoba merekonstruksi silsilah dan pengelompokan bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia misalnya kosakata protobahasa Austronesia yang berkaitan dengan flora dan fauna serta gejala alam lain, kata Daud.

“Ia juga menawarkan rekonstruksi pohon kekerabatan rumpun bahasa Austronesia dan perkiraan waktu pencabangannya mulai dari Proto-Austronesia hingga Proto-Oseania,” katanya.

Para leluhur ini, diungkapkan Daud, awalnya berasal dari Cina Selatan yang bermigrasi ke Taiwan pada 5.000-4.000 SM, namun akar bahasa Austronesia baru muncul beberapa abad kemudian di Taiwan.
Kosakata yang dapat direkonstruksi dari bahasa awal Austronesia yang dapat dilacak antara lain : rumah tinggal, busur, memanah, tali, jarum, tenun, mabuk, berburu, kano, babi, anjing, beras, batu giling, kebun, tebu, gabah, nasi, menampi, jerami, hingga mengasap.

Para petani purba di Taiwan ini berkembang cepat dan lalu terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok yang hidup terpisah dan bahasanya menjadi berbeda-beda dengan setidaknya kini ada sembilan bahasa yang teridentifikasi sebagai bahasa formosa.

Bermigrasi

Migrasi leluhur dari Taiwan ke Filipina mulai terjadi pada 4.500-3.000 SM. Leluhur ini adalah salah satu dari kelompok yang memisahkan diri. Mereka bermigrasi ke selatan menuju Kepulauan Filipina bagian utara yang kemudian memunculkan cabang bahasa baru yakni Proto-Malayo-Polinesia (PMP).
Tahap berikutnya, ujar Daud, terjadi pada 3.500-2.000 SM di mana masyarakat penutur bahasa PMP yang awalnya tinggal di Filipina Utara mulai bermigrasi ke selatan melalui Filipina Selatan menuju Kalimantan dan Sulawesi serta ke arah tenggara menuju Maluku Utara. Proses migrasi ini membuat bahasa PMP bercabang menjadi bahasa Proto Malayo Polinesia Barat (PWMP) di kepulauan Indonesia bagian barat dan Proto Malayo Polinesia Tengah-Timur (PCEMP) yang berpusat di Maluku Utara.

“Rupanya ketika bermigrasi ke arah tenggara penanaman padi mulai ditinggalkan karena tidak sesuai dengan lingkungannya. Mereka mulai memanfaatkan tanaman keladi dan umbi-umbian lain serta buah-buahan,” katanya.

Namun pada 3.000-2.000 SM leluhur yang ada di Maluku Utara bermigrasi ke selatan dan timur. Hanya dalam waktu singkat migrasi dari Maluku Utara mencapai Nusa Tenggara sekitar 2.000 SM yang kemudian memunculkan bahasa Proto Malayo Polinesia Tengah (PCMP). Demikian pula migrasi ke timur yang mencapai pantai utara Papua Barat dan melahirkan bahasa-bahasa Proto Malayo-Polinesia Timur (PEMP).

Migrasi dari Papua Utara ke barat terjadi pada 2.500 SM dan ke timur pada 2.000-1.500 SM, di mana penutur PEMP di wilayah pantai barat Papua Barat melakukan migrasi arus balik menuju Halmahera Selatan, Kepulauan Raja Ampat, dan pantai barat Papua Barat yang kemudian muncul bahasa yang dikelompokkan sebagai Halmahera Selatan-Papua Nugini Barat (SHWNG).

Setelah itu kelompok lain dari penutur PEMP bermigrasi ke Oseania dan mencapai kepulauan Bismarck di Melanesia sekitar 1.500 SM dan memunculkan bahasa Proto Oseania. “Sedangkan di Kepulauan Indonesia di bagian barat, setelah sempat menghuni Kalimantan dan Sulawesi, pada 3.000-2.000 SM, para penutur PWMP bergerak ke selatan, bermigrasi ke Jawa dan Sumatera,” katanya.

Penutur PWMP yang asalnya dari Kalimantan dan Sulawesi itu lalu bermigrasi lagi ke utara antara lain ke Vietnam pada 500 SM dan Semenanjung Malaka, ujarnya. Menjelang awal tahun Masehi, penutur bahasa WMP juga menyebar lagi ke Kalimantan sampai ke Madagaskar, tambah Daud.

Bentuk rumpun bahasa Austronesia ini lebih menyerupai garu daripada bentuk pohon. Karena semua proto-bahasa dalam kelompok ini, dari Proto Malayo Polynesia hingga Proto Oseania menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi, yaitu lebih dari 84 persen dari 200 pasangan kata, katanya.
Dengan demikian, kata Harry Truman, hampir seluruh kawasan nusantara bahkan sampai ke kawasan negeri-negeri tetangga dan masyarakat kepulauan Pasifik dan Madagaskar menuturkan bahasa yang asal-muasalnya merupakan bahasa Austronesia.

“Kecuali masyarakat yang ada di pedalaman Papua dan pedalaman pulau Timor yang bahasanya lebih mirip dengan bahasa pedalaman Australia,” katanya.

Bahasa Indonesia sekarang ini, kata Harry lagi, sudah sangat kompleks karena penuturnya tidak hanya hidup dengan sukunya masing-masing dan beradaptasi dengan rumpun bahasa dunia lainnya seperti dari India, Arab, Portugis, Belanda dan Inggris.(*)



Toponimi daerah Jawa Barat



Sekilas tentang hasil terjemahkan tulisan L.F. van Gent tentang penamaan geografis di Jawa Barat. L.F. van Gent (seorang ’surveyor’ zaman penjajahan Belanda yang bekerja pada Dinas Topografi dan melakukan survay ke daerah Jawa Barat yang saat itu mereka sebut ‘Preanger’ pada sekitar tahun 1915) oleh Pak Klaas J. Villanueva.

Penamaan geografi yang dibentuk teratur

Selain baik untuk telinga orang Sunda, yang cenderung berceritera tentang daerahnya, syarat untuk mencari arti dari nama geografi pada umumnya tidak ada, kecuali pengkaji mampu untuk memisahkan awalan, sisipan, akhiran, sehingga muncul kata dasar aslinya. Kecuali perubahan yang dikenal umum terhadap bunyi awalan dalam pembentukan kata kerja aktif contohnya timbang – nimbang, pernah – mernah dst., orang Sunda juga mengenal penempatan bunyian hidung di depan, yang mana sama mudahnya dibedakan seperti ‘awalan, sisipan, akhiran[1]‘ dan yang sering dipakai bunyi ucapan berganda (verdubbelklanken). Tiap Ilmu Bahasa Sunda akan memberi penjelasan hal ini. Akan tetapi kata dasar dapat saja menjadi kabur dikarenakan:

Penyatuan (samentreken):

- Corenda = ci-urug-endah (air terjun indah)

- Poma = pa-huma-an (sawah kering)

- Krawang = karawang (pantai yang robek atau kusut)

- Cirateun = ci-irateun (sungai yang dipinggirnya ditumbuhi bambu yang langsing)

- Blagung = bala-agung (hutan luas)

- Batugara = batur-nagara (mirip dengan ibu kota)

Pemendekan/penyingkatan:

- Cikatul - dari Ci Bakatul (ampas padi hasil gilingan; zemelen)

- G. Tugagung – dari G. Ratu kagok (raja yang terganggu dalam perjalanan)

- Ci Bahubang – dari Ci Bahu bangke (bau bangkai)

Perusakan kata:

- Malangbong - dari Malangmang (kelihatan tapi kabur)[2],

- Manonjaya - dari Mangun (wangunjaya, lembaga ketentaraan)

- D. Citrap - dari Ci Teureup (sejenis pohon)

- D. Conggeang - dari Cungging (kelandaian lapangan)

Perusakan sebutan ini kadang terjadi dengan sengaja, bila ditakutkan, bahwa penyebutan kata yang sebenarnya adalah pantang atau dapat mengakibatkan kecelakaan, contohnya D. Ganeas – seperti ditulis diatas – harusnya : D. Koneyas, Pohgaji harusnya Puhaci (manifestasi dari NYAI SRI dewi padi) dst. Demikian juga pemukiman yang tidak selesai dari bupati Ci Ancang sebelah Timur dari Ciamis di D. Utama yaitu Wurungdiuk (pemukiman yang gagal), sekarang umum disebut Burungdiuk.

Bahwasanya pendengaran harus ditajamkan, ternyata dari nama-nama yang tak dijelaskan, yang dapat ditemukan pada peta topografi seperti:

- G. Segel, yang dimaksud adalah Seel (yaitu jenis rotan)

- Pr. Kroon, yang dimaksud adalah Karoeng (yaitu jenis kacang)

- G. Parigi, yang dimaksud adalah Paregreg (yaitu berdiri tegak) dst.

Keterangan
[1] Awalan kata adalah n, ny, m, ng, mang, nyang, barang, pi, si, ti, ting, di, ka, pa, pang, per, pra, pri, pan, ban dan sa, kadangkala ar dan al.

[2] Orang Sunda juga menjelaskan, Malangbong = Malang – tembong = menghalangi penglihatan/muka

Penamaan unsur geografis menurut rupa.

Ini sering dipakai terkait upaya dahulu untuk mengungkap sesuatu. Selain yang telah sepintas lalu dikemukakan, masih diberi tempat hal yang berikut:

- G. Margawindu = gunung, sekeliling mana ada jalan (marga) melingkar, seakan-akan memakan waktu satu windu (7 tahun, yaitu sangat lama).

- Giri Sunya = gunung kosong = gunung khayalan/tasawuf = tempat tinggal imam tua

- G. Dangka = gunung untuk menguraikan jiwa = tempat tinggal roh

- Ci Haurseah = air, yang berdersik bak angin melalui rumpun bamboo

- D. Cituak = desa, dimana tumbuh rumpun bambu, demikian tebalnya, sehingga cocok untuk menyimpan tuak

- G. Beser = gunung, yang selalu cenderung untuk kencing, yaitu hujan selalu di waktu yang tidak tentu

- G. Weweranda = gunung, berdiri sendiri seperti wanita (wewe), yang janda (randa)

- Lebak Sibedug = lembah kematian, dengan kata lain tempat pemakaman, dimana ada batu yang berbentuk bedug masigit (mesjid), jadi gerbang ke kebahagiaan.

Penamaan tentang unsur sungai dan danau.

Sungai-sungai umumnya disebut dengan kata Ci, singkatan dari cai = air. Sungai pegunungan juga dinamakan wahangan atau walungan. Bila kata asalnya telah terkait dengan istilah kali, penamaan dapat berganda, contoh Ci Kalimiring, tetapi ad juga yang arti kali-nya sudah tiada, contoh Ci Kalaga = Ci Kali Age = sungai aliran cepat.

Kadang sungai-sungai memakai nama dari gunung, darimana ia berasal seperti Ci Datar dari G. Datar (gunung yang berbentuk datar), Ci Sanggar dari G. Sanggar (gunung berkorban), Ci Gunungagung dari G. Agung, dan lain sebagainya.

Istilah-istilah yang digunakan untuk penamaan sungai-sungai dapat dipisah dengan kata-kata yang:

  1. Berasal dari Sanskrit dan Kawi, dan penamaan mana jadinya berasal dari waktu dahulu sekali, seperti dikemukakan di atas.
  2. Menjelaskan bagaimana sifat dari sungai: berang (marah), harus (bersuara keras), tarik (mengalir cepat), sunter (bergetar keras), leuleuy (mengalir halus), gereleng (suara bebatuan bergerak/mengalir), beber (berlumpur).
  3. Menunjuk warna dari air; bodas (putih), hideung (hitam), muruy (dimana orang dapat bercermin), biru, beureum (merah), jingga (oranye), hejo (dan poetisch jenar = hijau), borelang (banyak warna), koneng (kurkuma: darimana warna kuning disadap), beet (berbagai macam warna).
  4. Melaporkan keadaan: biyuk (bau), haseum (asem), balirang (walirang, mengandung belerang), asin (rasa garam), herang (jernih; helder), kiruh (keruh), keumeuh atau kiih (urine; air seni), amis (manis), merang (membuat gatal).
  5. Terkait banyaknya air: mahi (cukup), saat (kering), tuhur (kering), burial (bergolak).
  6. Terkait jalannya aliran sungai: buni (tersimpan), lingkung (berbelok-belok), lanang (kelaki-lakian), wadon (kewanitaan).
  7. Menerangkan apa yang terkesan pada waktu pemberian nama pertama kali seperti:

- Binatang seperti badak, buruy (kodok muda), cacing, kalong, sondari (ayam hutan), lutung (monyet), belekek (burung belekok), lalay (kalong).

- Ikan seperti paray (ikan jenis kecil), bogo (sejenis ikan gabus), hurang (garnaal).

- Pohon dan tanaman seperti kumpay (jenis anggrek), kondang (pohon fijg), tarum (indigo), jambu, bareno.

- Jaringan pipa air umumnya memakai nama susukan, sedangkan nama-nama: talang, ereng (saluran pembuangan), pancoran (jalan air dari bambu), solokan (kanal), parigi (selokan yang digali) umumnya dihubungkan dengan kata-kata gede (besar), anjar (baru), lawas (tua).

- Sumber air, yang mengandung air panas, tanpa kecuali bernama Ci Panas. Nama seuseupan menerangkan, bahwa sumber air memiliki air asin, sedangkan istilah sumur dipakai terutama untuk kedalaman yang bukan alami, darimana air muncul. Sumber asal dari satu sungai sering dinamakan dengan kata sirah (kepala) dan bila ini sekaligus merupakan sumber air maka dipakai istilah bulakan. Nama Sangkanurip dilereng G. Cirime mangacu kepada tersedianya banyak sumber air (kawi: sangkan = banyak).

Di dataran tinggi Bandoeng akan dijumpai nama dalam jumlah banyak yang terbentuk dengan kata ranca (kolam). Kata ini umumnya dikombinasi dengan nama-nama binatang yang ada ditempat itu seperti bagong (babi), ekek (burung parkit), heulang (elang), nilem (jenis ikan air tawar), oray (ular), bango (jenis burung bangau), dst. atau dari pohon-pohon atau rumpunan seperti pacing, bangke (bunga yang berbau tidak enak), lame (jenis karet).

Perbedaan antara ranca dan rawa adalah, bahwa hanya yang disebut pertama yang dapat ditanami padi. Terkait bahasan tentang penamaan yang paling sederhana dapat diperhitungkan nama-nama sungai seperti Ci Kudapateuh, Ci Maungpaeh dst., yang artinya kuda yang pincang atau macan yang mati. Danau-danau dibedakan dalam situ (danau pegunungan yang terbentuk secara alami), dano (hamparan air), dan talaga (hamparan air besar atau danau kawah), sedangkan untuk telaga ikan diberi nama empang atau balong, yang mana tergantung dari besar kecilnya. Kadangkala dipakai nama-nama yang aneh, yang mana didasari suatu kesamaan, yang dilihat orang Sunda darinya seperti Situ Birit (pantat), Situ Bagendit (Baga Kendit = “maaf” kemaluan wanita).

Penamaan unsur pemukiman

Desa pada umumnya disebut dengan kata lembur; satu kumpulan mendapat nama kampung, pa-dukuh-an atau ampian (Banten). Kebanyakan nama-nama desa terbentuk dengan Ci dan jadi menyandang dari sungai, di samping mana desa itu terletak. Dikarenakan Jawa Barat yang kaya air dan kurang berpenduduk (tahun 1915, waktu Van Gent menulis laporan ini) itu dan tiap kumpulan keluarga dapat mandiri bermukim di sebelah aliran air satu sungai, maka tumbuh kebiasaan untuk menyebut pemukiman itu, yang batas-batasnya ditentukan dengan pemisahan oleh air, dengan nama sungai.

Dalam nama-nama desa sering tersimpan ingatan tentang pemukiman yang pertama; perbedaan dalam penamaan jenis ini juga sangat besar, sehingga beberapa perlu dilaporkan. Sebutan yang paling sering muncul, dan yang umumnya terkait dengan nama desa induk ialah babakan (diturunkan dari babak = pengulitan dari kulit, jadi babakan = pembukaan baru). Contohnya dekat Cimahi ditemukan Bab. Garut, di Sumedang ada Bab. Bandung dst., artinya digarap orang-orang dari Garut, Bandung dst.

Penamaan lain, baik yang berdiri sendiri atau hasil penggabungan, yang juga dipakai, adalah: pondok (hut, tempat bermalam), luwuk (tempat), balandungan (los atau bangsal (loods), bangunan kayu), saung (gubug sederhana), latar dan buruan (halaman), cantilan (pemukiman), gandek (bangunan gandengan), talahab (gubug bambu yang terbuka), babalean (bangku istirahat), kandang, gubug, ranggon (rumah di pohon – seperti yang sebelum 1850 masih ditemukan di pantai selatan -), pangkalan (tempat tinggal sementara, atau pelabuhan di sungai), papango (rumah jaga ), joglo (gubug kecil), warung (tempat jualan), gardu (rumah jaga), sindang (tempat nginap) dst.

Tidak mengherankan, bahwa nama dari dia, yang pertama bermukim disitu, tersimpan terus dalam nama desa. Kendatipun yang demikian tidak sesering terjadi seperti di Jawa Tengah, nama-nama Desa Samsir, Desa Ciwastra, Desa Bojongbraja cukup menjelaskan bahwa SAMSIR, WASTRA, BRADJA adalah pendirinya. Juga Desa Soeradita di Cisedane namanya terkait Sersan (pribumi) SOERADITA, yang tahun 1705 memperoleh tanah disitu. Dalam kasus lain pemukiman atau pengarapan memperoleh nama desa dari asal para pendatang dan jarang ditemui pengulangan; seperti telah dikemukakan diatas kebiasaan itu telah mengakar di Jawa.

Perbedaan utama dari tanah-tanah tegal (lapangan yang ditumbuhi), talun (pengarapan baru), kebon (kebun), sawah atau serang (diairi), huma (sawah tak diairi, juga disebut tipar dan gaga), bera (tanah terbuka tidak digarap), lapang (tanah datar tidak ditanami), bubulak (padang rumput) sering ditemukan dalam banyak nama. Keadaan dimana kebanyakan desa terbentuk diwaktu yang cukup muda, telah mengakibatkan, bahwa sebutan-sebutan seperti tajur (tanah yang ditanami) dan baru (pengarapan baru, terutama kebun kopi) terpakai untuk penamaan desa baru yang terbentuk disana.

Seringkali satu nama memberi keterangan tentang keadaan tanah setempat - tanpa perlu mempelajari peta – oleh kata-kata yang dipakai tidak disusun menyatu: jelegong (tanah yang berombak), gorowong (tempat kosong), legok (lembah dalam), waspada (pemadangan jelas), degla atau negla (pamandangan terbuka), Pandeglaan telah berubah menjadi Pandeglang; malangmang (terlihat tetapi kurang jelas), nanggerang (tinggi di pegunungan), patenggang (terletak tinggi dan terpisah), tenjo (pemandangan tak terhalang), ngalindung (dikelilingi gunung, berlokasi bagus), genteng (seperti untuk atap, jadi di aliran air antara gunung), ranca (lahan berawa, kolam lumpur), lega (luas), sedangkan jenis tanah dan kesuburan yang lebih atau kurang akan jelas dari sebutan-sebutan: gemuk dan lendo, cadas (berbatu), nagrag (tidak subur), lebu (pasir gunung api), kelang (kering atau layu), bongkor (di Banten = tak dibangun), tarengton (dengan banyak batu) dst.

Hal kelebihan atau kekurangan dari satu tempat dikemukakan dengan sebutan seperti langen (tempat bersenang), copong (tempat memulihkan batin), beres (tertata rapih), caang (diterangi cahaya), pamoyanan (disinari matahari pagi), nerdika (bebas), sedep (mengenakkan), sembawa (bahagia) dst.

Pemukiman di hutan-hutan seringkali mendapat penamaan gabungan dari: kadu dan leuweung (hutan), bala (hutan belantara), dungus dan rujuk (tanaman semak-semak), bihbul (semak), langgong (hutan tertutup), dst.

Desa-desa di lereng-lereng gunung, dengan pengulangan mengambil nama gunung dan disatukan dengan kata-kata gunung atau pasir. Lokasinya dijelaskan dengan sebutan-sebutan seperti jurang, lamping (lereng), longkrang (jurang sempit), gawir (lereng terjal), sela (pungung gunung) nagreg (berdiri tegak) dll.

Kampung-kampung dipingiran sungai-sungai, mendapatkan darinya sesuatu yang khas, yang ditata bersusun dengan bojong (belokan sungai), parung (tempat dangkal disungai, sering secara salah ditulis parang), leuwi (putaran air), karees (tepian dangkal sungai bertumpuk pasir), cukang (jembatan lepas), tambakan (bendungan), bendung (tanggul), tanggulan (tanggul), tambak (penutup), curug (air terjun), parakan (bagian sungai yang dibendung), pamotan (peralihan), bandungan (rakit besar untuk penyeberangan), jambatan, sask, dst.

Untuk penjelasan yang baik tentang lokasi satu sama lain dari kampung-kampung bernama sama ataupun bagian-bagian dari desa, selain dipakai sebutan-sebutan kaler (utara), wetan (timur), kidul (selatan) dan kulon (barat), di wilayah gunung sering dipakai: tonggoh (letak lebih tinggi), tengah (letak ditengah) dan landeuh (letak lebih bawah), hilir (aliran sebelah bawah), girang (aliran disebelah atas), peuntas (diseberang sungai), lebih lanjut singkur (sendiri, kemudian), joglo (terpencil), dst.

Dalam penamaan dengan tanjung artinya tidak selalu titik ujung atau lidah daratan, tetapi dapat juga berarti: letak tinggi diatas punggung gunung. Tanjungsari letaknya sebagai contoh dipisahkan oleh sungai antara Preanger Utara dan Selatan; Tanjungnagara adalah satu tempat, darimana dapat dilihat keseluruhan negara (dalam hal ini Sumedang) dst.

Selain berkaitan dengan nama sungai, nama pemukiman di Jawa Barat berasal dari jenis tumbuhan, antara lain yang tercatat adalah:

Dari jenis pohon-pohon liar

- Muncang (sejenis kemiri),

- Caringin (waringin),

- Sinagar dan gebang (jenis pohon palem),

- Kiara, kolelet dan hampelas (jenis ficus; ficussoorten),

- Angsana dan teureup (berkaret),

- Kareumbi dan koeray (dengan kayu lembek),

- Dahu (dengan buah masam),

- Secang (pohon kayu cat),

- Nagasari (akasia) dan lebih kurang dikenal seperti garut (yaitu sejenis akasia, yang sebagai contoh ditemukan juga di ibukota yang bernama sama dari wilayah),

- Medang (nama Sumedang menurut beberapa orang berarti tidak lain daripada pohon medang yang besar),

- Leles, dan lainnya.

Juga ada beberapa dari nama-nama pohon-pohon hutan, misalnya: nangsi, gintung, bunut, karoja, putri (Banyak orang cenderung untuk memberi pada sebutan putri arti seorang anak perempuan raja; kecuali untuk beberapa kasus, semua penamaan dengan putri, yang umumnya menyangkut gunung, terkait dengan ditemukannya pohon putri (cemara) disana).

Penamaan melalui unsur “kejuruan” atau profesi dalam nama desa. Salah satu kearifan masa lalu yang sangat menghargai profesi atau keahlian sehingga diabadikan dalam nama desa.

- Desa Paneuleum = desa pengecat biru,

- Desa Panjunan atau Pariyuk = desa pembuat panci dari tanah,

- Desa Paledang = desa pengrajin tembaga,

- Desa Sayang = desa pengrajin tembaga merah,

- Desa Kamal = desa tempat pembuatan garam,

- Desa Liyo = desa dimana dibuat bata dan genteng,

- Desa Penjaringan = desa nelayan atau penangkap ikan.

Juga kehadiran beberapa orang atau karakter suatu kelompok dapat dicatat dengan nama seperti Desa Kabalen (wilayah orang Bali), Desa Kamandelikan (wilayah Pangeran Mandelika), Desa Panjalu (wilayah pejuang berani).Beberapa nama terkait dengan pembuatan jalan contohnya Andir (pengawas jalan), Jagal (pekerja wajib; heerendienstplichtge), dan Tagog (tempat jaga/kantor pos).Terlihat bahwa masyarakat Jawa Barat sejak dulu sangat menghargai suatu keahlian atau profesi, zaman ini namanya spesialisasi, tanpa memandang apakah kerjaan kantoran, lapangan, kasar, halus dan lain sebagainya, yang penting ahli dan bermanfaat.


All about Djatinangor

Jatinangor adalah sebuah kawasan di sebelah timur Kota Bandung, merupakan satu dari 26 Kecamatan yang ada di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sebelumnya bernama Kecamatan Cikeruh namun sejak tahun 2000 berganti nama menjadi Kecamatan Jatinangor dengan alasan nama tersebut terasa lebih familiar dan lebih popular dikenal khalayak ramai.

Nama Jatinangor sendiri adalah nama blok perkebunan di kaki Gunung Manglayang yang kemudian dijadikan kompleks kampus sejumlah perguruan tinggi di sana. Dari Topografische Kaart Blaad L.XXV tahun 1908 dan Blaad H.XXV tahun 1909 yang diterbitkan oleh Topografische Dienst van Nederlands Oost Indie, telah dijumpai nama Jatinangor di tempat yang sekarang juga bernama Jatinangor. Ketika itu, daerah Jatinangor termasuk ke dalam Afdeeling Soemedang, District Tandjoengsari. Nama Cikeruh sendiri diambil dari sungai (Ci Keruh) yang melintasi kecamatan tersebut. Pada Peta Rupabumi Digital Indonesia No. 1209-301 Edisi I tahun 2001 Lembar Cicalengka yang diterbitkan oleh BAKOSURTANAL masih dijumpai nama Kecamatan Cikeruh untuk daerah yang saat ini dikenal sebagai Kecamatan Jatinangor. Pada beberapa dokumen resmi dan setengah resmi saat ini, masih digunakan nama Kecamatan Cikeruh. Kecamatan ini terletak pada koordinat 107o 45’ 8,5” – 107o 48’ 11,0” BT dan 6o 53’ 43,3” – 6o 57’ 41,0” LS. Kode Pos untuk kecamatan ini adalah 45363.

Wilayah Jatinangor memiliki luas ± 26,20 Km2 dengan jarak antar Batas Wilayah dari Utara-Selatan 5 Km dan dari arah Barat-Timur 7 Km. Dengan karakteristik wilayah perkotaan hampir 80% dari keseluruhan 12 Desa, meliputi 4 Desa kawasan agraris (Cileles, Cilayung, Jatiroke, Jatimukti), 4 Desa kawasan pendidikan (Hegarmanah, Cikeruh, Sayang, Cibeusi) dan 4 Desa kawasan industri (Cisempur, Cintamulya, Cipacing, Mekargalih).

Secara administratif Kecamatan Jatinangor terbagi kedalam 12 Desa, 56 Dusun, 128 RW dan 479 RT. Sedangkan bila dilihat dari posisi Georafisnya, Kecamatan Jatinangor berada di Wilayah Bagian Timur Kabupaten Sumedang dengan Batas-batas Wilayah Aministratif Pemerintahan sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kecamatan Suksari dan Kecamatan Tanjungsari

Sebelah Timur : Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Cimanggung

Sebelah Selatan : Kecamatan Kecamatan Rancaekek Kab. Bandung

Sebelah Barat : Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung

Keadaan Topografi Kecamatan Jatinangor merupakan Daerah Perbukitan dengan ketinggian antara 725-800 m diatas permukaan air laut (dpl), dengan curah hujan rata-rata per tahun mencapai 492,64 mm. sedangkan orbitasi ke Ibu Kota Kabupaten Sumedang sepanjang 21,5 Km dengan jarak tempuh 1 Jam Perjalanan dengan kendaraan darat.

Dilihat dari penggunaan lahannya, sebagian besar wilayah merupakan Lahan permukiman/pekarangan yang luasnya mencapai 1.217 Ha (54,1%), sedangkan luas penggunaan lahan lainnya adalah berupa tegal/kebun 615 Ha (27,3%), kolam 14 Ha, Hutan Rakyat 273 Ha, Hutan Negara 130 Ha dan penggunaan lainnya 125,15 Ha.

Kondisi Demografis Kecamatan Jatinangor antara lain jumlah penduduk berdaarkan hasil Pendataan Keluarga Tahun 2008 adalah sebanyak 87.974 Jiwa, yang terdiri dari 44.151 orang laki-laki, 43.821 orang perempuan dan 20.525 Kepala Keluarga (KK).

Laju Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Jatinangor termasuk tinggi secara relatif yaitu sebesar 2,04% per tahun (tahun 2007), bila dibandingkan dengan angka laju pertumbuhan penduduk kabupaten sebesar 1,9. Hal ini menunjukan bahwa bukan saja tingkat kelahiran bayi masih tinggi tapi juga, sebagai kawasan pendidikan dan industri, Kecamatan Jatinangor sangat menarik bagi pendatang, baik dari lokal maupun nasional. Sedangkan perbandingan jumlah penduduk laki-laki terhadap 100 orang penduduk wanita (sex Ratio) sebesar 1,03.

Kepadatan penduduk di Kecamatan Jatinangor adalah 3.384 orang per Km². jumlah penduduk usia kerja pada tahun 2006 sebanyak 50.380 orang yang terdiri dari laki-laki 25.350 orang dan perempuan 25.030 orang. Dari penduduk usia kerja tersebut, terdapat pengangguaran terbuka 1.671 orang dan 2.825 orang pengangguran tertutup.

Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Jatinangor kebanyakan penduduk bekerja di Sektor Pertanian (8,5 %), Perdagangan (11,2 %), Karyawan/Buruh (36,2 %), PNS, POLRI, TNI (7,3%), dan Wiraswasta (36,8%). Sedangkan kerukunan beragama berlangsung stabil, dengan komposisi penduduk berdasarkan agama yang dianut adalah sebagai berikut : 97,3 % memeluk Agama Islam, 0,86% memeluk agama Katholik, 1,3 memeluk agama Kristen Protestan, 0,25% memeluk agama Hindu dan 0,2% memeluk agama Budha.

Sebagaimana daerah lain di kawasan Cekungan Bandung iklim yang berkembang di Jatinangor adalah iklim tropis pegunungan.

Titik terendah di kecamatan ini terletak di daerah Desa Cintamulya setinggi 675 m di atas permukaan laut, sedangkan titik tertingginya terletak di puncak Gunung Geulis setinggi 1.281 m di atas permukaan laut. Sungai-sungai penting di Jatinangor meliputi Ci Keruh, Ci Beusi, Ci Caringin, Ci Leles, dan Ci Keuyeup.

Geologi daerah Jatinangor terdiri dari tiga satuan batuan (Silitonga, 1972), yaitu :

  1. Satuan hasil gunungapi muda. Berumur Kuarter, didominasi oleh batuan volkaniklastik, tersebar di bagian utara dan tengah daerah Jatinangor. Satuan ini tersingkap baik di aliran Ci Keruh.
  2. Satuan lava gunungapi muda. Berumur Kuarter, didominasi oleh lava, merupakan batuan utama pembentuk Gunung Geulis.
  3. Satuan endapan danau. Berumur Kuarter, didominasi oleh batuan sedimen yang merupakan sisa endapan Danau Bandung, tersebar di bagian baratdaya daerah Jatinangor.

Hidrogeologi daerah Jatinangor meliputi tiga daerah akuifer, yaitu :

  1. Akuifer produktif sedang, berupa akuifer dengan aliran melalui ruang antar butir, di bagian selatan.
  2. Akuifer produktif sedang, berupa akuifer dengan aliran melalui celahan dan ruang antar butir, di bagian utara.
  3. Airtanah langka atau tidak berarti, berupa akuifer bercelah atau sarang dengan produktivitas kecil atau daerah airtanah langka, di bagian timur.

Geomorfologi daerah Jatinangor meliputi tiga satuan geomorfologi, yaitu :

  1. Satuan geomorfologi pedataran volkanik, di bagian selatan.
  2. Satuan geomorfologi perbukitan volkanik landai, di bagian utara.
  3. Satuan geomorfologi perbukitan volkanik terjal, di bagian timur.

Saat ini Jatinangor dikenal sebagai salah satu kawasan Pendidikan di Jawa Barat. Pencitraan ini merupakan dampak langsung pembangunan kampus beberapa institusi perguruan tinggi di kecamatan ini. Perguruan tinggi yang saat ini memiliki kampus di Jatinangor yaitu :

  1. Universitas Padjadjaran (Unpad) di Desa Hegarmanah dan Desa Cikeruh.
  2. Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Desa Cibeusi. Sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).
  3. Institus Koperasi Indonesia (Ikopin) di Desa Cibeusi.
  4. Universitas Winaya Mukti (Unwim) di Desa Sayang.
  5. Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (AMIK) Al-Ma'soem di Desa Cipacing

Sedangkan perusaah/industri skala besar, yaitu :

1. Kahatex Industri (terletak di Desa Cintamulya dan Cisempur)

2. Polypin Canggih (terletak di Desa Cipacing)

3. Insan Sandang (terletak di Desa Mekargalih)

4. Wiska (terletak di Desa Cipacing)

Seiring dengan hadirnya bangunan kampus dan pabrik tersebut, Jatinangor juga mengalami perkembangan fisik yang pesat. Sebagaimana halnya yang menimpa lahan pertanian lain di Pulau Jawa, banyak lahan pertanian di Jatinangor yang berubah fungsi menjadi rumah sewa untuk mahasiswa ataupun tempat perbelanjaan. Salah satu yang terkenal saat ini yaitu pusat perbelanjaan Jatinangor Town Square (JATOS) dan Plaza Pajajaran.

Beberapa objek penting yang ada di Jatinangor antara lain meliputi objek bersejarah dan objek pariwisata. Objek bersejarah tersebut berupa menara jam di kampus Unwim dan jembatan Cikuda yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan jembatan cincin. Dulu jembatan tersebut digunakan sebagai jembatan rel kereta yang menghubungkan jalur kereta dari arah Tanjungsari ke Rancaekek

Menara jam yang sering disebut Menara Loji oleh masyarakat sekitar. Menara tersebut dibangun sekitar tahun 1800-an. Menara tersebut pada mulanya berfungsi sebagai sirene yang berbunyi pada waktu-waktu tertentu sebagai penanda kegiatan yang berlangsung di perkebunan karet milik Baron Baud. Bangunan bergaya Neo gothic ini dulunya berbunyi tiga kali dalam sehari. Pertama, pukul 05.00 sebagai penanda untuk mulai menyadap karet; pukul 10.00 sebagai penanda untuk mengumpulkan mangkok-mangkok getah karet; dan terakhir pukul 14.00 sebagai penanda berakhirnya kegiatan produksi karet.

Baron Baud adalah seorang pria berkebangsaan Jerman yang menanamkan modal bersama perusahaan swasta milik Belanda dan pada tahun 1841 mendirikan perkebunan karet bernama Cultuur Ondernemingen van Maatschapij Baud yang luas tanahnya mencapai 962 hektar. Perkebunan karet ini membentang dari tanah IPDN hingga Gunung Manglayang.

Sekira tahun 1980-an lonceng Menara Loji dicuri dan hingga kini kasusnya masih belum jelas; baik mengenai pencurinya, apa motifnya, dan bagaimana tindak lanjut dari pihak berwenang. Bahkan Pemerintah Daerah (Pemda) Sumedang, selaku pihak yang seharusnya mengawasi pemeliharaan cagar budaya pun tidak tahu-menahu mengenai kelanjutan kisah pencurian itu. Saat ini Menara Loji nampak tidak terurus. Perawatan terakhir menara ini berupa pengecatan ulang yang dilakukan oleh pihak Rumah Tangga Unwim pada tahun 2000.

Jembatan di Cikuda yang sering disebut sebagai Jembatan Cincin oleh masyarakat sekitar. Pada mulanya dibangun sebagai penunjang lancarnya kegiatan perkebunan karet. Jembatan Cincin dibangun oleh perusahaan kereta api Belanda yang bernama Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf pada tahun 1918. Jembatan ini berguna untuk membawa hasil perkebunan; dan pada masanya, jembatan ini menjadi salah satu roda penggerak perkebunan karet terbesar di Jawa Barat.

Sebagaimana halnya dengan Menara Loji, tidak ada satupun instansi yang mau menangani perawatan jembatan bersejarah ini. Baik Pemda Sumedang maupun PT KAI (Kereta Api Indonesia), dua pihak yang cukup berkepentingan dengan Jembatan Cincin menyatakan bahwa pemeliharaan Jembatan Cincin tidak termasuk dalam tanggungjawabnya. Menurut PT KAI, jembatan ini tidak pernah diperbaiki karena sudah tidak digunakan lagi. Sedangkan menurut Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Pemda Sumedang, perawatan bangunan bersejarah tidak termasuk dalam tanggung jawab dinas tersebut karena dinas ini hanya bertugas memperhatikan dan membina nilai-nilai budaya.

Objek pariwisata di Jatinangor antara lain meliputi Bumi Perkemahan Kiara Payung dan Bandung Giri Gahana (Golf and Resor). Walaupun demikian, sebenarnya sebagian besar tanah Bumi Perkemahan Kiara Payung terletak dalam wilayah Kecamatan Tanjungsari. Selain itu, Jalan Raya Jatinangor sepanjang 4,83 km yang menghubungkan Bandung dengan Sumedang merupakan penggalan dari De Groote Postweg (Jalan Raya Pos) yang dibuat oleh Herman Willem Daendels pada tahun 1808.

Satu hal yang menarik dan menjadi ciri khas Indonesia nampak jelas dalam proses pembuatan jalan raya baru satu arah dari kampus IKOPIN sampai ke gerbang lama UNPAD. Dengan teknologi dan peralatan berat yang tersedia, jalan raya sepanjang sekira satu kilometer ini membutuhkan waktu hingga empat tahun untuk pembuatannya (pertengahan 2005 - pertengahan 2009). Proses pembuatan jalan raya baru ini nampak ditelantarkan jika dibandingkan dengan proses pembuatan dan perbaikan Jalan Raya Pos sepanjang sekira 1.000 km yang hanya membutuhkan waktu satu tahun (Mei 1808 - pertengahan 1809).

Pembuatan jalan raya baru ini dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan lalu-lintas yang ditimbulkan oleh kegiatan penduduk Jatinangor. Selain sarana-sarana perbelanjaan yang bertebaran di sepanjang Jalan Raya Pos. Pasar UNPAD pada setiap hari Minggu juga sempat menimbulkan kemacetan parah pada masa lalu.