Jatinangor Menjadi Kawasan Perkotaan???


Jatinangor merupakan nama kecamatan yang berada diperbatasan antara Bandung-Sumedang, Jatinangor merupakan salah satu kecamatan yang terpinggir dari pusat kota kabupaten Sumedang, Konsep Jatinangor sekarang adalah menjadi kawasan pendidikan dimana di Jatinangor ini tata wilayahnya dipenuhi beberapa kampus-kampus yang cukup besar, seperti IPDN, IKOPIN, UNWIM, dan UNPAD. Mungkin karena kampus-kampus tersebutlah menjadikan wilayah Jatinangor menjadi daerah pendidikan. Jatinangor akan berubah status menjadi Kawasan Perkotaan Jatinangor. Kebijakan ini merupakan pertama kalinya di Indonesia dan akan dijadikan sebagai Pilot Poject-nya. Kesemerawutan tata ruang yang kini menjadi potret Jatinangor, perlu dikembalikan ke fungsi asalnya sebagai pusat pendidikan.

Sebagai sebuah kecamatan di wilayah kabupaten Sumedang, permasalahan yang dihadapi Jatinangor lebih kompleks dibandingkan dengan kecamatan lain. Macet, krisis air, pengelolaan sampah, degradasi lingkungan dan penataan ruang merupakan masalah-masalah yang dihadapi Jatinangor. Permasalahan tersebut sejatinya merupakan persoalan yang lazimnya dialami daerah perkotaan.

Permasalahan yang terjadi di Jatinagor ini adalah masalah transisi, dimana dari desa menjadi kawasan perkotaan. Sekarang ini kecamatan Jatinangor terpaksa mengikuti perkembangan zaman, berubah menjadi seperti sebuah kota Metropolitan. Atau dengan bahasa lain, Jatinangor adalah kota baru yang premature. Mengapa demikian, sebab hanya dengan selang waktu beberapa bulan atau tahun saja, sawah-sawah yang dulunya hijau menyegarkan mata dengan seketika berubah menjadi tembok-tembok yang menghalangi pandangan mata. Coba lihat dibeberapa daerah yang ada di Jatinangor, seperti Ciseke, Cibeusi, Sukawening, Cisaladah, Cikuda, Ciawi, Cikeruh, Hegarmanah dan lainnya. Sekarang yang kita temukan disana sini bangunan tembok berdirian, jalan sudah disulap jadi pondokan, sawah sudah dirubah menjadi apartemen. Bukan merasa iri atau apa yang ada dalam dihati, tapi tidak lain hanyalah kesedihan dan kepriatinan. Sebab bukan masyarakat asli Jatinangor yang menikmati perubahan ini, tetapi orang-orang luar yang memiliki kemampuan lebih yang menyulap semua itu.

Permasalahan lainnya yang muncul adalah kehadiran bangunan-bangunan sekelas Mall Metropolitan yang sudah memposisikan diri ditengah-tengah kawasan pendidikan ini, sebagai contoh dengan hadirnya Jatinangor Town Square (JATOS) dan Padjdjaran Plaza, hal ini membuat tata wilayah yang terkesan semerawut, alangkah lebih bijaknya jika pendirian mall-mall tersebut berada dipinggir dari pusat kawasan pendidikan. Seharusnya yang berada di tengah-tengah kawasan pendidikan tersebut adalah perpustakaan ataupun tempat-tempat yang lebih mendukung dengan konsep kawasan pendidikan, kalau melihat fenomena yang terjadi sekarang ini adalah terjadinya ketimpangan, dimana antara konsep kawasan pendidikan tidak berkesinambungan dengan fasilitas ataupun stuktur dan infrasruktur yang ada.

Kemudian masalah yang terjadi lainnya adalah masalah sampah, dimana sampai saat ini Jatinangor belum memiliki tempat pembuangan sampah. Dengan kondisi demikian, keberadaan lahan-lahan di Jatinangor pun nantinya akan semakin sempit. Tentunya volume sampah dapat dipastikan terus bertambah, baik yang berasal dari produksi masyarakat atau perusahaan. Mengingat volume sampah rumah tangga yang dihasilkan begitu banyaknya maka perlu adanya penangulangna terhadap masalah ini, menurut rumor ataupun wacana yang sedang berkembang Pemkab Sumedang berencana untuk menyiapkan tempat pembuangan sampah sementara (TPPS) dan tengah mempersiapkan beberapa fasilitas yang tersebar di lima titik, yakni di wilayah Cileles, Cintamulya, Mekargalih, Sayang dan Hegarmanah. Pembangunan tempat pembuangan sampah sementara di lima desa itu rencananya akan dibiayai dari dana Pagu Indikatif Kewilayahan (PIK) kecamatan yang besarannya Rp 50 juta/desa dengan luas areal 20 tumbak.

Bukan tidak setuju ataupun tidak ingin merasakan kemajuan zaman, namun pemasalahan sosial yang terjadilah yang menjadi kekhawatiran. Disana-sini makin bertambah kriminalitas, kesenjangan kelas sosial, prostitusi, perdagangan narkoba,hingga tindakan keserakahan lainnya. Apakah bisa kita pastikan semua itu dapat diatasi Jatinangor sebagai kota baru dilingkungan pendidikan yang tidak tertata dengan baik..? Itulah keresahan yang saya alami sebagai bagian dari masyarakat jatinangor. Merasa riskan akan perubahan dan perkembangan yang terjadi. Perubahan itu suatu keharusan memang, tetapi apabila perubahan itu tidak tertata dan terencana dengan baik, maka kita tidak akan mengetahui mau dibawa kemana Jatinangor ini nantinya. Menurut hemat saya, kepemimpinan tokoh pemerintaan Jatinangor sangat berperan untuk melakukan perbaikan dan pembangunan tersebut, hanya saja kita tidak merasakan keberadaan hal itu. Meski agak terlambat, bukan berarti kawasan pendidikan Jatinangor tidak bisa ditata. Tinggal bagaiman komitmen pemerintah konsisten melaksanakan rencananya.

Jika rencana perkotaan itu terwujud, dapat dipastikan wilayah Jatinagor akan berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman masyarakat kota, didalamnya sudah pasti akan menjadi pusat distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan pelayanan ekonomi.